Nama : MOCH. SAHRODI
NIM : 2009184202B0324
Pertanyaan :
1. Berilah beberapa alasan tentang pentingnya belajar bahasa Indonesia!
2. Masyarakat Indonesia menggunakan bahasa Indonesia sebagai L1 dan L2. apa maksud pernyataan ini!
3. Jelaskan pengertian Bahasa!
4. Bahasa bersifat konvensional, produktif, dan arbitrer. Jelaskan!
Jawab :
1. “Era globalisasi”. Inilah yang membuat orang lupa akan bahasanya sendiri akibatnya bahasa Indonesia seolah menjadi tidak bernyawa. Masyarakat bahkan para Petinggi Negara bila mendengar dua kata ini menjadi berubah bahasanya. Dulu bahasa yang mereka gunakan tidak terlalu parah, sehubungan dengan adanya era globalisasi bahasanya menjadi luntur karena bahasa asing yang datang ke Indonesia. Kita lihat contoh seperti yang dilakukan oleh Presiden kita Susilo Bambang Yudhoyono.
Ketika Anda baca di koran, sekilas melihat tulisan Open House. Banyak sekali kata itu di media cetak ketika hari Raya Iedul Fitri tiba. Open House yang dilaksanakan di Istana negara untuk bertatap muka secara langsung dengan masyarakat Indonesia. Padahal Beliau sendiri pernah mendapatkan penghargaan sebagai pengguna bahasa yang baik dan benar (Kompas, Jumat, 28/10). Ternyata era globalisasi yang sederhana itu mempunyai makna yang sangat berarti dan sangat luas sehingga bisa menjadi penyalahgunaan bahasa.
Adanya era globalisasi bukan menjadi hambatan untuk mencintai bahasanya sendiri sebab bahasa Indonesia sudah menjadi bagian dari hidup kita seperti bahasa Indonesia merupakan alat pemersatu bangsa atau bahasa Nasional, bahasa Indonesia merupakan jati diri kita atau ciri khas sebagai bangsa Indonesia. Itulah sebabnya ada pepatah yang mengatakan Bahasa Menunjukkan Bangsa.
Filipina, Jepang, China, dan Perancis merupakan negara yang mencintai bahasanya sendiri. Sangat berbeda jauh sekali dengan negara Indonesia, walaupun adanya era globalisasi mereka tidak terpengaruh karena mereka mempunyai kredibilitas yang sangat tinggi. Seandainya negara Indonesia seperti Negara-negara di atas yang mencintai bahasanya, maka masyarakat Indonesia tidak lagi sok nginggris atau seolah-olah berasal dan pernah hidup di daratan Eropa/Amerika.
Dari penjelasan di atas saya pikir perlu kiranya ada Undang-undang yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia, terutama penggunaan bahasa baku dalam situasi formal ataupun bahkan di / oleh media sekalipun. Hal ini disebabkan jika penggunaan bahasa Indonesia tidak diatur Undang-undang, masyarakat akan seenaknya menggunakan bahasa yang mereka anggap itu gaul. Contoh besar, berbagai media massa yang notabene merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat ternyata lebih mengabaikan dampak negatifnya bagi generasi bangsa demi keuntungan pribadi/kelompok/isntansi semata dengan menggunakan bahasa sekenanya (tidak baku) dengan dalih apa yang disampaikan mudah/gampang diterima oleh publik/masyarakat.
Bahasa Indonesia bukan hanya sebagai ciri khas bangsa, Masih banyak peranan dan pentingnya penggunaan bahasa yang baik dan benar yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Seperti dalam konsep ilmiah, lihatlah beberapa ragam bahasa di dalamnya mengikuti kaidah bahasa baku untuk menghindari ketaksaan makna karena karya tulis ilmiah tidak terikat oleh waktu, dengan demikian, ragam bahasa karya tulis ilmiah tidak mengandung bahasa yang sifatnya kontekstual seperti ragam bahasa jurnalistik. Tujuannya adalah agar karya tersebut dapat tetap dipahami oleh pembaca yang tidak berada dalam situasi atau konteks saaat karya tersebut diterbitkan.Masalah ilmiah biasanya menyangkut hal yang sifatnya abstrak atau konseptual yang sulit dicari alat peraga atau analoginya dengan keadaan nyata. Untuk mengungkapkan hal semacam itu, diperlukan struktur bahasa dan kosakata yang canggih. Ciri-ciri bahasa keilmuan adalah kemampuaannya untuk membedakan gagasan atau pengertian yang memang berbeda dan strukturnya yang baku dan cermat. Dengan karakteristik ini, suatu gagasan dapat terungkap dengan cermat tanpa kesalahan makna bagi penerimanya.
2. Masyarakat Indonesia memperlakukan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu ( L1) dan bahasa kedua (L2). Dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa (L2). Suatu kelemahan yang tidak disadari.
Komunikasi lisan atau nonstandar (L1) yang sangat praktis menyebabkan kita tidak teliti berbahasa (L2). Akibatnya, kita mengalami kesulitan pada saat akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur (L2). Seperti contoh, bahasa Indonesia (L2) yang dipelajari di sekolah-sekolah. Tidak jarang nilai bahasa Indonesia yang dicapai di bawah KKM. Karena keadaan inilah banyak anggapan belajar bahasa Indonesia itu sulit. Pada saat dituntut untuk berbahasa (L2) bagi kepentingan yang lebih terarah dengan maksud tertentu, kita cenderung kaku. Kita akan berbahasa (L2) secara terbata-bata atau mencampurkan bahasa standar (L2) dengan bahasa nonstandart (L1) atau bahkan, mencampurkan bahasa atau istilah asing ke dalam uraian kita. Padahal, bahasa (L2) bersifat sangat luwes, sangat manipulatif. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Lihat saja, bagaimana pandainya orang-orang berpolitik melalui bahasa. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu.
3. Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan komunikasi. Mereka menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama. Lukisan-lukisan, asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan sebagainya. Tetapi mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan dengan bahasa, semua alat komunikasi tadi mengandung banyak segi yang lemah.
Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks daripada yang dapat diperoleh dengan mempergunakan media tadi. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu sendiri haruslah merupakan simbol atau perlambang.
4. Bahasa bersifat produktif, terbuka, kreatif artinya pesan-pesan verbal merupakan gagasan-gagasan baru, setiap gagasan tersebut bersifat baru. Tentu ada beberapa pengecualian dari kaidah umum ini tetapi tidak banyak dan tidak penting; seperti contoh “Apa kabar?” “Selamat pagi” tidaklah produktif karena kata-kata ini tercipta baru setiap kali diucapkan. Kalau pengecualian seperti ini dikesampingkan, semua pesan verbal tercipta pada saat diutarakan. Ketika manusia berbicara manusia tidaklah mengulang kalimat-kalimat hasil mengingat melainkan menciptakan sendiri kalimat-kalimat baru. Begitu pula pemahaman atas pesan-pesan verbal menunjukkan produktivitas dalam arti bahwa manusia dapat memahami pemikiran-pemikiran baru dikemukakan.
Bahasa itu bersifat arbitrer dapat diartikan sewenang-wenang atau berubah-ubah. Sedangkan istilah arbitrer adalah tidak hubungan wajib antara lambang bahasa dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Meskipun lambang tersebut tidak memberi “saran” atau petunjuk apapun mengenai konsep yang diwakilinya. Misalnya,antara (Ayam) dengan yang dilambangkannya, yaitu “Binatang berkaki dua yang dapat berkokok” kita tidak dapat menjelaskan mengapa binatang tersebut dilambangkan dengan bunyi (Ayam) bukan (Yama) atau (Yaam). Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya bersifat arbitrer tetapi penggunaan lambang tersebut untuk konsep tertentu, bersifat Konvensional artinya semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang bahasa tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya tersebut.Misalnya, “Ayam” telah secara konvensional digunakan sebagai lambang binatang berkaki dua yang dapat berkokok.
Sebagai bangsa Indonesia kita harus mulai mencintai bahasa Indonesia yang notabene adalah bahasa pemersatu sebelum kearbitreran dan konvensionalitas mengobrak-abrik tatanan bahasa yang dianggap sudah kaprah. Kebiasaan dan sikap profesionalitas berbahasa yang baik dan benar harus dijaga. Nasib bahasa ini tergantung pada kita semua sebagai masyarakat pengguna.
0 komentar:
Posting Komentar